Senin, 21 November 2016

IMPLEMENTASI MAQASIDUSSYARI’AH DALAM KONTEKS NKRI



BAB I
PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang
Islam adalah agama yang suci, yang didalamnya tertuang segala ketentuan dan ajaran yang mengatur segala kehidupan di alam semesta ini. Dalam hubungan antara manusia dengan segala isi alam jagat raya ini, baik itu hubungan kepada Sang Pencipta (Hablum mina’allah), hubungan dengan sesama manusia (Hablum mina’nas) serta hubungan terhadap alam (Hablum minal alam), perlu adanya aturan yang mengikat. Hal ini supaya kehidupan manusia berjalan dengan baik, tentram dan lain sebagainya. Islam terlahir untuk menjadi rahmat bagi semua manusia (islam rahmatan lil a’alamin) yang terkandung didalamnya nilai-nilai yang luhur, penuh kasih sayang yang bermuara tentunya dari Al qur’an dan Al hadist. Islam yang merupakan addin mayoritas negeri ini, yang hidup dengan kaum addin minoritas (katolik, protestan, hindu, budha, konghucu, dan keyakinan lainnya) tentunya sangat menonjolkan nilai-nilai tersebut dalam hubungan horizontal baik sesama manusia, alam dan tentunya terhadap Sang Khalik (horizontal). Dalam hubungan tersebut, manusia harus bisa menjaga kedamaian, kesejukan, dan sikap toleransi (sesama maupun antar beragama) untuk mencapai esensi dari rahmatan lil alamin tersebut.
Nabi Muhammad SAW dengan terang sangat melarang kaum Muslimin untuk mengganggu orang-orang non-Islam yang hidup sebagai kafir dzimmni. Yaitu orang kafir yang termasuk warga negara Islam yang dilindungi selama mereka mentaati peraturan-peraturan negara dan membayar jizyah (semacam upeti atau pajak). Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bersabda: "Sesungguhnya Allah tidak mengijinkan kalian untuk masuk ke rumah orang-orang ahli kitab kecuali dengan seijin mereka, tidak boleh memukul mereka dan mengambil buah-buahan mereka selama mereka memberikan kepada kalian kewajiban mereka." (HR. Abu Dawud).
Dari penjelasan di atas tentu, kita sebagai umat agama islam yang hidup di negara tercinta ini harus bisa hidup berdampingan, bertoleransi serta tidak sedikirpun menggangu kehidupan sekitar kita dengan dalih apapun, tujuan dan maksud apapun, selagi mereka menaati peraturan yang berlaku di negara ini.



Dalam konteks tersebut, islam yang didalamnya terkandung hukum-hukum syara’ mengatur hubungan tersebut di atas. Sehingga kehidupan berbangsa dan bernegara dapat tercipta nilai keluhuran dan kemaslahatan bagi semuanya. Tidak ada lagi sikap intoleran dari penghuni negeri ini (masyarakat) dalam mencapai tujuan hidup yang diinginkannya.
Dalam makalah ini nanti akan dibahas Implementasi Maqasidussyari’ah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dalam lingkup Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

B.     Rumusan Masalah
Dari berbagai uraian yang telah dijelaskan dalam pendahuluan, penulis mengangkat beberapa permasalahan dalam makalah ini, yaitu :
1.      Apakah pengertian dari Maqasidussyari’ah itu?
2.      Apakah pengertian hidup berbangsa dan bernegara dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)?
3.   Bagaimana implementasi Maqasidussyari’ah dalam konteks NKRI?

C.   Ruang Lingkup
                  Pada makalah ini yang menjadi pembahasan adalah Implementasi Maqasidussyariah dalam Konteks NKRI.

















BAB II
PEMBAHASAN


1.      Pengertian Maqasidussyari’ah
Menurut Siti Farrohah Alimina dan Sugiarti (2012) yang dikutif dari Hans Wehr (A dictionary of Modern Written Arabic : 1980) serta Hammad al-Obeidi (al-Syatibi wa Maqasid al-Syariah : 1992) dalam Makalah Maqasid Al-Syariah pada mata kuliah Ushul Fiqih II, menyatakan bahwa maqasidussyari’ah terdiri dari dua kata, yakni maqasid dan syari’ah. Maqasid adalah bentuk jama’ dari maqsud yang berarti kesengajaan atau tujuan sedangkan  Syari’ah secara bahasa berarti المواضع تحدر الى الماء yang berarti jalan menuju sumber air. Jalan menuju air ini dapat dikatakan sebagai jalan kearah sumber pokok kehidupan.
Menurut imam Al-Syatibi sebagai yang dikutip dari ungkapannya sendiri:
هذه الشريعة...وضعت لتحقيق مقاصد الشارع فى قيام مصالحهم فى الدين والدنيا معا
“ Sesungguhnya syariat itu bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan manusia di dunia dan di akhirat.”
Dalam ungkapan yang lain dikatakan oleh imam Al-Syatibi
الآحكام مشروعة لمصالحالعباد
“Hukum-hukum disyari’atkan untuk kemaslahatan hamba."
Beberapa Ulama mendefinisikan Maqashid Syariah sebagai berikut:
المقاصد العام للشارع في تشريعة الاحكام هو مصالح الناس بكفلة ضرورياتهم وتوقير حاجياتهم وتحسناتهم
Maqashid Syari’ah secara Umum adalah: kemaslahatan bagi Manusia dengan memelihara kebutuhan dharuriat mereka dan menyempurnakan kebutuhan Hajiyat dan Tahsiniat mereka.
Maqashid Syari’ah adalah konsep untuk mengetahui hikmah (nilai-nilai dan sasaran syara' yang tersurat dan tersirat dalam Al-Qur’an dan Hadits). yang ditetapkan oleh Allah ta’ala terhadap manusia adapun tujuan akhir hukum tersebut adalah satu, yaitu mashlahah atau kebaikan dan kesejahteraan umat manusia baik di dunia (dengan Mu’amalah) maupun di akhirat (dengan ‘aqidah dan Ibadah). Sedangkan cara untuk tercapai kemaslahatan tersebut



manusia harus memenuhi kebutuhan Dharuriat (Primer), dan menyempurnakan kebutuhan Hajiyat (sekunder), dan Tahsiniat atau kamaliat (tersier).
Maqashid merupakan tujuan yang ingin dicapai dalam melakukan sesuatu. Terdapat berbagai pendefinisian telah dilontarkan oleh ulama usul fiqh tentang istilah maqasid. Ulama klasik tidak pernah mengemukakan definisi yang spesifik terhadap maqasid, malah al-Syatibi yang terkenal sebagai pelopor ilmu maqasid pun tidak pernah memberikan definisi tertentu kepadanya. Namun ini tidak bermakna mereka mengabaikan maqasid syara' di dalam hukum-hukum syara'. Berbagai tanggapan terhadap maqasid dapat dilihat di dalam karya-karya mereka. Kita akan dapati tanggapan ulama klasik yang pelbagai inilah yang menjadi unsur di dalam definisi-definisi yang dikemukakan oleh ulama mutakhir selepas mereka. Apa yang pasti ialah nilai-nilai maqasid syara' itu terkandung di dalam setiap ijtihad dan hukum-hukum yang dikeluarkan oleh mereka. Ini karena nilai-nilai maqasid syara' itu sendiri memang telah terkandung di dalam al-Quran dan al-Sunnah.
Ada beragumen bahwa Maqasid ialah menarik maslahah atau menolak mafsadah. Ibn al-Qayyim menegaskan bahwa syariah itu berasaskan kepada hikmah-hikmah dan maslahah-maslahah untuk manusia di dunia atau di akhirat. Sementara Al-Izz bin Abdul Salam juga berpendapat sedemikian apabila beliau mengatakan "Syariat itu semuanya maslahah, menolak kejahatan atau menarik kebaikan.
Kesimpulannya maqasid syariah ialah "matlamat-matlamat yang ingin dicapai oleh syariat demi kepentingan umat manusia". Para ulama telah menulis tentang maksud-maksud syara’, beberapa maslahah dan sebab-sebab yang menjadi dasar syariah telah menentukan bahwa maksud-maksud tersebut dibagi dalam dua golongan sebagai berikut:
a.)    Golongan Ibadah, yaitu membahas masalah-masalah Ta’abbud yang berhubungan langsung antara manusia dan khaliqnya, yang satu persatu nya telah dijelaskan oleh syara’.
b.)    Golongan Muamalah Dunyawiyah, yaitu kembali pada maslahah-maslahah dunia, atau seperti yang ditegaskan oleh Al Izz Ibnu Abdis Salam sebagai berikut:
“Segala macam hukum yang membebani kita semuanya, kembali kepada maslahah di dalam dunia kita, ataupun dalam akhirat. Allah tidak memerlukan ibadah kita itu. Tidak memberi manfaat kepada Allah taatnya orang yang taat, sebagaimana tidak memberi mudarat kepada Allah maksiatnya orang yang durhaka”.


2. Pengamalan Maqasidussyari’ah dalam kehidupan bermasyarakat
            Dalam menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara yang heterogen, baik suku, agama, ras dan antar golongan (SARA), tentunya sering terjadi gesekan-gesekan antar individu, kelompok maupun masyarakat luas pada umumnya. Tentunya negara dalam hal ini punya kekuatan utama (point of power)  untuk bisa mencegah terjadinya hal tersebut. Islam yang notabenenya agama mayoritas di negara ini, punya peranan penting terhadap persoalan tersebut. Karena islam pada haikaktnya merupakan agama yang memberikan kenyamanan, kedamaian bagi seluruh umat manusia (islam rahmatan lil alamin).
            Maqasidus syari’ah merupakan pondasi suci addin yang bersumber dari al qur’an dan al hadist mengatur kehidupan umat manusia untuk tidak terjadinya permasalahan-permasalahan di atas. Syariat islam lahir untuk menjadikan kehidupan manusia menjadi lebih damai, nyaman, tentram dan lain sebagainya. Ketika umat islam sudah mengerti dan melaksanakan hal tersebut, diyakini kehidupan dinegeri ini akan lebih indah dirasa. Dan ini akan menjadikan negara lebih kondusif dan teratur, tidak ada lagi gesekan-gesekan yang terjadi, baik mengatasnamakan individu maupun golongan.
Negara yang mengayomi seluruh rakyatnya dan membawa bangsa kepada kemakmuran yang hakiki, tentunya memberi kesempatan kepada rakyat beragama islam lebih-lebih kepada non Islam untuk menjalankan agamanya sambil melihat kesempurnaan syariat Islam sehingga suatu saat mereka akan masuk Islam tanpa paksaan. Dan ini berarti rahmat yang lebih sempurna lagi bagi mereka.
Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam pun melarang kaum Muslimin untuk mengganggu orang-orang non-Islam yang hidup sebagai kafir dzimmni. Yaitu orang kafir yang termasuk warga negara Islam yang dilindungi selama mereka mentaati peraturan-peraturan negara dan membayar jizyah (semacam upeti atau pajak). Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bersabda: "Sesungguhnya Allah tidak mengijinkan kalian untuk masuk ke rumah orang-orang ahli kitab kecuali dengan seijin mereka, tidak boleh memukul mereka dan mengambil buah-buahan mereka selama mereka memberikan kepada kalian kewajiban mereka." (HR. Abu Dawud).
Demikianlah warga negara non-Islam diberikan hak-haknya dan dijaga hartanya, tidak boleh dirampas hartanya atau dibunuh jiwanya dengan dhalim selama mereka mentaati


peraturan-peraturan negara Islam, walaupun kita sama-sama tahu bahwa kedudukan mereka lebih rendah dari kaum Muslimin, sebagaimana ucapan Umar bin Khattab radliyallahu `anhu:
"Rendahkanlah mereka tapi jangan dhalimi mereka." (Fatawa 28 / 653)
Demikian pula orang-orang non-Muslim yang bukan warga negara tetapi terikat perjanjian damai. Seperti para pendatang dari negara asing yang tidak dalam keadaan berperang (dengan Muslim) atau dalam kata lain terikat perjanjian damai. Maka kita tidak boleh mengganggu, apalagi membunuh mereka selama mereka mengikuti peraturan-peraturan negara Islam. Demikian pula duta-duta asing yang tinggal di negara Islam. Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam mengancam orang-orang yang mengganggu atau mendhalimi mereka. Mereka ini distilahkan dengan kafir mu'ahhad (yaitu terikat perjanjian):
"Ketahuilah barang siapa mendhalimi seorang mu'ahad; atau mengurangi hak-haknya; atau membebaninya di luar kemampuannya; atau mengambil sesuatu daripadanya tanpa keridlaannya. Maka aku akan menjadi penentangnya pada hari kiamat." (HR. Abu Dawud dan Baihaqi. Lihat Ash-Shahihah oleh Syaikh Al-Albani 1 / 807).
            Dari uraian di atas islam harus bisa menjadikan umatnya (manusia) baik sebagai makhluk individu maupun makhluk sosial dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, dapat menjadi sisi tauladan dan bisa menjadikan kesantunan, kearifan dalam interaksi dengan masyarakat lain pada umumnya lebih dikedepankan. Bukan anarkisme, menghalalkan segala cara sehingga dapat merugikan lingkungan sosialnya, karena ini bukan merupakan syariat yang diajarkan rosullulah SAW kepada kita umatnya.











BAB III
PENUTUP


A.    Kesimpulan
Maqasid syariah dalam konteks NKRI ialah tujuan suci yang ingin dicapai berdasarkan  syariat demi kepentingan bersama (masyarakat) dalam kehidupan ber negara kesatuan republik indonesia. Dari tujuan yang hendak dicapai ini, tentunya ada norma-norma yang yang tersurat dalam kaitannya manusia sebagai khalifah di muka bumi ini. Norma atau hukum tersebut harus dipahami dan dilaksanakan oleh tiap individu-individu sehingga pencapaian yang diinginkan sesuai dengan syariat agama.
Beberapa ulama ushul telah mengumpulkan beberapa maksud yang umum dari menasyri’atkan hukum menjadi tiga kelompok, yaitu:
a.)    Syariat yang berhubungan dengan hal-hal yang bersifat kebutuhan primer manusia. Kebutuhan primer ini dibagi menjadi lima, yaitu agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta
b.)    Syariat yang berhubungan dengan hal-hal yang bersifat kebutuhan sekunder manusia. Kebutuhan ini yang dapat memperlancar hubungan antar manusia, seperti muamalah, mubadalah ibadah secara horizontal, dll.
c.)    Syariat yang berhubungan dengan hal-hal yang bersifat kebutuhan pelengkap manusia.
Dari uraian di atas, ketika manusia sebagai bagian yang tak terpisahkan dalam ruang lingkup hidup berbangsa dan bernegara untuk mencapai tujuan hidupnya mengerti akan hakekat hukum atau norma agama yang berlaku, baik secara individu maupun kelompok tidak lagi terjadi gesekan-gesekan yang menyulut terjadinya kekerasan, ketidaknyamanan maupun kehancuran di tengah-tengah masyarakat dalam lingkup hidup berbangsa dan bernegara.










DAFTAR PUSTAKA

Siti Farrohah Alimina dan Sugiarti, Maqasid Al-Syariah, Program Tarbiyah STAIN Kudus, 2012
Hammad al-Obeidi, al-Syatibi wa Maqasid al-Syariah, Mansyurat Kuliat al-Da'wah al-Islamiyyah, Tripoli, cet. Pertama, 1401H/1992
R. Abuy Sodikin dan Badruzaman, Metodologi Studi Islam, Insan Mandiri Offset, Bandung, 2004
Muhammad Umar As-Sewed, Islam sebagai Rahmat untuk Seluruh Alam, Manhaj, 2003

Tidak ada komentar:

Posting Komentar