BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Islam adalah agama yang suci, yang
didalamnya tertuang segala ketentuan dan ajaran yang mengatur segala kehidupan
di alam semesta ini. Dalam hubungan antara manusia dengan segala isi alam jagat
raya ini, baik itu hubungan kepada Sang Pencipta (Hablum mina’allah), hubungan
dengan sesama manusia (Hablum mina’nas) serta hubungan terhadap alam (Hablum
minal alam), perlu adanya aturan yang mengikat. Hal ini supaya kehidupan
manusia berjalan dengan baik, tentram dan lain sebagainya. Islam terlahir untuk
menjadi rahmat bagi semua manusia (islam rahmatan lil a’alamin) yang terkandung
didalamnya nilai-nilai yang luhur, penuh kasih sayang yang bermuara tentunya
dari Al qur’an dan Al hadist. Islam yang merupakan addin mayoritas negeri ini,
yang hidup dengan kaum addin minoritas (katolik, protestan, hindu, budha,
konghucu, dan keyakinan lainnya) tentunya sangat menonjolkan nilai-nilai
tersebut dalam hubungan horizontal baik sesama manusia, alam dan tentunya
terhadap Sang Khalik (horizontal). Dalam hubungan tersebut, manusia harus bisa
menjaga kedamaian, kesejukan, dan sikap toleransi (sesama maupun antar
beragama) untuk mencapai esensi dari rahmatan lil alamin tersebut.
Nabi Muhammad SAW dengan
terang sangat melarang kaum Muslimin untuk mengganggu orang-orang non-Islam
yang hidup sebagai kafir dzimmni. Yaitu orang kafir yang termasuk warga negara
Islam yang dilindungi selama mereka mentaati peraturan-peraturan negara dan
membayar jizyah (semacam upeti atau pajak). Rasulullah shallallahu `alaihi wa
sallam bersabda: "Sesungguhnya Allah tidak mengijinkan kalian untuk masuk
ke rumah orang-orang ahli kitab kecuali dengan seijin mereka, tidak boleh
memukul mereka dan mengambil buah-buahan mereka selama mereka memberikan kepada
kalian kewajiban mereka." (HR. Abu Dawud).
Dari penjelasan di atas
tentu, kita sebagai umat agama islam yang hidup di negara tercinta ini harus
bisa hidup berdampingan, bertoleransi serta tidak sedikirpun menggangu
kehidupan sekitar kita dengan dalih apapun, tujuan dan maksud apapun, selagi
mereka menaati peraturan yang berlaku di negara ini.
Dalam konteks tersebut, islam yang
didalamnya terkandung hukum-hukum syara’ mengatur hubungan tersebut di atas. Sehingga
kehidupan berbangsa dan bernegara dapat tercipta nilai keluhuran dan
kemaslahatan bagi semuanya. Tidak ada lagi sikap intoleran dari penghuni negeri
ini (masyarakat) dalam mencapai tujuan hidup yang diinginkannya.
Dalam makalah ini nanti akan dibahas
Implementasi Maqasidussyari’ah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dalam
lingkup Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
B.
Rumusan
Masalah
Dari berbagai uraian yang telah
dijelaskan dalam pendahuluan, penulis mengangkat beberapa permasalahan dalam
makalah ini, yaitu :
1.
Apakah
pengertian dari Maqasidussyari’ah itu?
2.
Apakah
pengertian hidup berbangsa dan bernegara dalam konteks Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI)?
3. Bagaimana implementasi Maqasidussyari’ah
dalam konteks NKRI?
C. Ruang
Lingkup
Pada makalah ini yang menjadi
pembahasan adalah Implementasi Maqasidussyariah dalam Konteks NKRI.
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Pengertian
Maqasidussyari’ah
Menurut Siti Farrohah
Alimina dan Sugiarti (2012) yang dikutif dari Hans Wehr (A dictionary of Modern
Written Arabic : 1980) serta Hammad al-Obeidi (al-Syatibi wa Maqasid al-Syariah
: 1992) dalam Makalah Maqasid Al-Syariah pada mata kuliah Ushul Fiqih II, menyatakan
bahwa maqasidussyari’ah terdiri dari dua kata, yakni maqasid dan syari’ah.
Maqasid adalah bentuk jama’ dari maqsud yang berarti kesengajaan atau tujuan
sedangkan Syari’ah secara bahasa berarti
المواضع تحدر الى
الماء yang berarti jalan menuju sumber
air. Jalan menuju air ini dapat dikatakan sebagai jalan kearah sumber pokok
kehidupan.
Menurut imam Al-Syatibi sebagai yang dikutip dari ungkapannya sendiri:
هذه
الشريعة...وضعت لتحقيق مقاصد الشارع فى قيام مصالحهم فى الدين والدنيا معا
“ Sesungguhnya
syariat itu bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan manusia di dunia dan di
akhirat.”
Dalam ungkapan yang lain dikatakan oleh imam Al-Syatibi
الآحكام
مشروعة لمصالحالعباد
“Hukum-hukum
disyari’atkan untuk kemaslahatan hamba."
Beberapa Ulama
mendefinisikan Maqashid Syariah sebagai berikut:
المقاصد
العام للشارع في تشريعة الاحكام هو مصالح الناس بكفلة ضرورياتهم وتوقير حاجياتهم
وتحسناتهم
Maqashid Syari’ah secara Umum adalah:
kemaslahatan bagi Manusia dengan memelihara kebutuhan dharuriat mereka dan
menyempurnakan kebutuhan Hajiyat dan Tahsiniat mereka.
Maqashid Syari’ah adalah konsep untuk mengetahui hikmah (nilai-nilai dan sasaran syara' yang
tersurat dan tersirat dalam Al-Qur’an dan Hadits). yang ditetapkan oleh Allah
ta’ala terhadap manusia adapun tujuan akhir hukum tersebut adalah satu, yaitu
mashlahah atau kebaikan dan kesejahteraan umat manusia baik di dunia (dengan
Mu’amalah) maupun di akhirat (dengan ‘aqidah dan Ibadah). Sedangkan cara untuk
tercapai kemaslahatan tersebut
manusia harus memenuhi kebutuhan Dharuriat (Primer),
dan menyempurnakan kebutuhan Hajiyat (sekunder), dan Tahsiniat
atau kamaliat (tersier).
Maqashid merupakan
tujuan yang ingin dicapai dalam melakukan sesuatu. Terdapat berbagai
pendefinisian telah dilontarkan oleh ulama usul fiqh tentang istilah maqasid.
Ulama klasik tidak pernah mengemukakan definisi yang spesifik terhadap maqasid,
malah al-Syatibi yang terkenal sebagai pelopor ilmu maqasid pun tidak pernah
memberikan definisi tertentu kepadanya. Namun ini tidak bermakna mereka
mengabaikan maqasid syara' di dalam hukum-hukum syara'. Berbagai tanggapan
terhadap maqasid dapat dilihat di dalam karya-karya mereka. Kita akan dapati
tanggapan ulama klasik yang pelbagai inilah yang menjadi unsur di dalam definisi-definisi
yang dikemukakan oleh ulama mutakhir selepas mereka. Apa yang pasti ialah
nilai-nilai maqasid syara' itu terkandung di dalam setiap ijtihad dan
hukum-hukum yang dikeluarkan oleh mereka. Ini karena nilai-nilai maqasid syara'
itu sendiri memang telah terkandung di dalam al-Quran dan al-Sunnah.
Ada beragumen bahwa Maqasid ialah menarik maslahah
atau menolak mafsadah. Ibn al-Qayyim menegaskan bahwa syariah itu berasaskan kepada hikmah-hikmah dan maslahah-maslahah untuk manusia di
dunia atau di akhirat. Sementara Al-Izz bin Abdul Salam juga berpendapat sedemikian apabila beliau
mengatakan "Syariat itu semuanya maslahah, menolak
kejahatan atau menarik kebaikan.
Kesimpulannya maqasid
syariah ialah "matlamat-matlamat yang ingin dicapai oleh syariat demi kepentingan umat
manusia". Para ulama telah menulis tentang maksud-maksud syara’,
beberapa maslahah dan sebab-sebab yang menjadi dasar syariah telah menentukan
bahwa maksud-maksud tersebut dibagi dalam dua golongan sebagai berikut:
a.)
Golongan Ibadah,
yaitu membahas masalah-masalah Ta’abbud yang berhubungan langsung antara
manusia dan khaliqnya, yang satu persatu nya telah dijelaskan oleh syara’.
b.)
Golongan
Muamalah Dunyawiyah, yaitu kembali pada maslahah-maslahah dunia, atau seperti
yang ditegaskan oleh Al Izz Ibnu Abdis Salam sebagai berikut:
“Segala macam hukum yang membebani kita semuanya,
kembali kepada maslahah di dalam dunia kita, ataupun dalam akhirat. Allah tidak
memerlukan ibadah kita itu. Tidak memberi manfaat kepada Allah taatnya orang
yang taat, sebagaimana tidak memberi mudarat kepada Allah maksiatnya orang yang
durhaka”.
2.
Pengamalan Maqasidussyari’ah dalam kehidupan bermasyarakat
Dalam menjalani kehidupan berbangsa
dan bernegara yang heterogen, baik suku, agama, ras dan antar golongan (SARA),
tentunya sering terjadi gesekan-gesekan antar individu, kelompok maupun
masyarakat luas pada umumnya. Tentunya negara dalam hal ini punya kekuatan
utama (point of power) untuk bisa
mencegah terjadinya hal tersebut. Islam yang notabenenya agama mayoritas di
negara ini, punya peranan penting terhadap persoalan tersebut. Karena islam
pada haikaktnya merupakan agama yang memberikan kenyamanan, kedamaian bagi
seluruh umat manusia (islam rahmatan lil alamin).
Maqasidus syari’ah merupakan pondasi
suci addin yang bersumber dari al qur’an dan al hadist mengatur kehidupan umat
manusia untuk tidak terjadinya permasalahan-permasalahan di atas. Syariat islam
lahir untuk menjadikan kehidupan manusia menjadi lebih damai, nyaman, tentram
dan lain sebagainya. Ketika umat islam sudah mengerti dan melaksanakan hal
tersebut, diyakini kehidupan dinegeri ini akan lebih indah dirasa. Dan ini akan
menjadikan negara lebih kondusif dan teratur, tidak ada lagi gesekan-gesekan
yang terjadi, baik mengatasnamakan individu maupun golongan.
Negara yang mengayomi seluruh rakyatnya
dan membawa bangsa kepada kemakmuran yang hakiki, tentunya memberi kesempatan
kepada rakyat beragama islam lebih-lebih kepada non Islam untuk menjalankan
agamanya sambil melihat kesempurnaan syariat Islam sehingga suatu saat mereka
akan masuk Islam tanpa paksaan. Dan ini berarti rahmat yang lebih sempurna lagi
bagi mereka.
Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam pun
melarang kaum Muslimin untuk mengganggu orang-orang non-Islam yang hidup
sebagai kafir dzimmni. Yaitu orang kafir yang termasuk warga negara Islam yang
dilindungi selama mereka mentaati peraturan-peraturan negara dan membayar
jizyah (semacam upeti atau pajak). Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam
bersabda: "Sesungguhnya Allah tidak mengijinkan kalian untuk masuk ke
rumah orang-orang ahli kitab kecuali dengan seijin mereka, tidak boleh memukul
mereka dan mengambil buah-buahan mereka selama mereka memberikan kepada kalian
kewajiban mereka." (HR. Abu Dawud).
Demikianlah warga negara non-Islam
diberikan hak-haknya dan dijaga hartanya, tidak boleh dirampas hartanya atau
dibunuh jiwanya dengan dhalim selama mereka mentaati
peraturan-peraturan
negara Islam, walaupun kita sama-sama tahu bahwa kedudukan mereka lebih rendah
dari kaum Muslimin, sebagaimana ucapan Umar bin Khattab radliyallahu `anhu:
"Rendahkanlah
mereka tapi jangan dhalimi mereka." (Fatawa 28 / 653)
Demikian pula orang-orang non-Muslim yang
bukan warga negara tetapi terikat perjanjian damai. Seperti para pendatang dari
negara asing yang tidak dalam keadaan berperang (dengan Muslim) atau dalam kata
lain terikat perjanjian damai. Maka kita tidak boleh mengganggu, apalagi
membunuh mereka selama mereka mengikuti peraturan-peraturan negara Islam.
Demikian pula duta-duta asing yang tinggal di negara Islam. Rasulullah
shallallahu `alaihi wa sallam mengancam orang-orang yang mengganggu atau
mendhalimi mereka. Mereka ini distilahkan dengan kafir mu'ahhad (yaitu terikat
perjanjian):
"Ketahuilah barang siapa mendhalimi seorang mu'ahad; atau mengurangi
hak-haknya; atau membebaninya di luar kemampuannya; atau mengambil sesuatu
daripadanya tanpa keridlaannya. Maka aku akan menjadi penentangnya pada hari
kiamat." (HR. Abu Dawud dan Baihaqi. Lihat Ash-Shahihah oleh Syaikh Al-Albani
1 / 807).
Dari uraian di atas islam harus bisa
menjadikan umatnya (manusia) baik sebagai makhluk individu maupun makhluk
sosial dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, dapat menjadi sisi tauladan dan
bisa menjadikan kesantunan, kearifan dalam interaksi dengan masyarakat lain
pada umumnya lebih dikedepankan. Bukan anarkisme, menghalalkan segala cara
sehingga dapat merugikan lingkungan sosialnya, karena ini bukan merupakan
syariat yang diajarkan rosullulah SAW kepada kita umatnya.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Maqasid syariah dalam konteks NKRI ialah tujuan suci yang ingin dicapai
berdasarkan syariat demi kepentingan
bersama (masyarakat) dalam kehidupan ber negara kesatuan republik indonesia. Dari
tujuan yang hendak dicapai ini, tentunya ada norma-norma yang yang tersurat
dalam kaitannya manusia sebagai khalifah di muka bumi ini. Norma atau hukum
tersebut harus dipahami dan dilaksanakan oleh tiap individu-individu sehingga
pencapaian yang diinginkan sesuai dengan syariat agama.
Beberapa ulama ushul telah
mengumpulkan beberapa maksud yang umum dari menasyri’atkan hukum menjadi tiga
kelompok, yaitu:
a.) Syariat yang
berhubungan dengan hal-hal yang bersifat kebutuhan primer manusia. Kebutuhan
primer ini dibagi menjadi lima, yaitu agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta
b.) Syariat yang
berhubungan dengan hal-hal yang bersifat kebutuhan sekunder manusia. Kebutuhan
ini yang dapat memperlancar hubungan antar manusia, seperti muamalah, mubadalah
ibadah secara horizontal, dll.
c.) Syariat yang
berhubungan dengan hal-hal yang bersifat kebutuhan pelengkap manusia.
Dari uraian di atas, ketika manusia
sebagai bagian yang tak terpisahkan dalam ruang lingkup hidup berbangsa dan
bernegara untuk mencapai tujuan hidupnya mengerti akan hakekat hukum atau norma
agama yang berlaku, baik secara individu maupun kelompok tidak lagi terjadi
gesekan-gesekan yang menyulut terjadinya kekerasan, ketidaknyamanan maupun
kehancuran di tengah-tengah masyarakat dalam lingkup hidup berbangsa dan
bernegara.
DAFTAR
PUSTAKA
Siti Farrohah Alimina dan Sugiarti, Maqasid Al-Syariah, Program Tarbiyah
STAIN Kudus, 2012
Hammad al-Obeidi, al-Syatibi
wa Maqasid al-Syariah, Mansyurat Kuliat al-Da'wah al-Islamiyyah, Tripoli,
cet. Pertama, 1401H/1992
R. Abuy Sodikin dan Badruzaman, Metodologi Studi Islam, Insan Mandiri Offset, Bandung, 2004
Muhammad Umar As-Sewed, Islam sebagai Rahmat untuk
Seluruh Alam, Manhaj, 2003